economi

Sabtu, 11 Desember 2010

Sekilas Tentang Krisis Ekonomi di Indonesia

pa yang terjadi pada akhir tahun 1997 sangat mencengangkan, banyak negeri di Asia tiba-tiba diguncang krisis. Pertumbuhan 7-8 % per tahun, Asian Miracle, dsb, dsb yang selama puluhan tahun dipuji-puji oleh banyak pejabat, IMF, sampai dengan ekonom-ekonom liberal hilang dalam sekejap. Di Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % (antara Juli- dan Februari 1998, bahkan pernah nilai rupiah menyentuh angka Rp. 16.000, per 1 US dollar ) banyak pabrik-pabrik bangkrut: terutama industri yang berbahan baku impor, dan industri yang modalnya diperoleh dari hutang luar negeri; puluhan juta buruh kehilangan pekerjaan akibat PHK; harga-harga barang naik hingga lebih dari 100 %; inflasi tajam te r jadi hingga menyentuh angka 77,6 % dari satu tahun sebelumnya. Krisis, yang oleh banyak ekonom borjuis disebut krisis moneter, telah menyebabkan pendapatan per kapita merosot dari 1.200 US dollar menjadi 500 US dollar. Dampak sosial yang paling nyata adal ah jumlah penduduk miskin meningkat menjadi hampir 80 juta orang menurut BPS.




Akibat terpaan krisis, tingkat kesejahteraan rakyat merosot jatuh. Daya beli rakyat menurun sementara harga-harga barang membumbung tinggi, jauh tak terbeli oleh mayoritas rakyat yang tingkat pendapatannya sangat minim. Bahkan lebih buruk lagi dampak menurunnya daya beli rakyat menimbukan kekhawatiran hilangnya satu generasi akibat ketidakmampuan mengkonsumsi gizi, kesehatan yang buruk karena mahalnya obat-obatan dan jasa pendid ikan. Lalu, bagaimana sikap pemerintah dalam usahanya untuk keluar dari jurang krisis yang maha berat ini? Bagaimana kiat atau strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan krisis ekonomi ini? Baik pemerintahan Suharto, Habibie, maupun rezim baru, Gus Dur\ Mega, mempunyai kesamaan pandangan, analisa dan strategi dalam menyikapi krisis ini. Bahwa, krisis ini disebabkan oleh KKN, dan konglomerasi yang lahir dari proses kroniisme, dan mengganggap krisis ini sangat lokal sifatnya.

Modal internasional ( yang diwakili oleh IMF) pun mempunyai kesamaan pandangan dengan ketiga pemerintahan di atas. Bahkan IMF mempunyai pandangan rasialis bahwa, krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, yaitu, cara orang Asia berbisnis yang sarat dengan praktek KKN. Krisis ekonomi menyebabkan bangunan sistem ekonomi Indonesia ambruk: sektor riil terseok-seok, terpuruknya perbankan nasional, tekanan terus-menerus terhadap nilai rupiah, dan beban hutang luar negeri menyebabkan rezim Gus Dur mengalami kesulitan dana untuk me-recovery perekonomian. Dengan alasan karena kebutuhan dana, pemerintah tunduk dan patuh pada saran dan kebijakan IMF. Ketundukkan dan kepatuhan pemerintah tidak semata-mata dikarenakan pemerintah membutuhkan dana d ari IMF, lebih jauh dari itu adalah kesamaan teori/ideologi diantara keduanya. Penyelesaian krisis ekonomi ini haruslah tetap dalam kerangka kapitalisme, dengan wajah barunya yaitu neoliberalisme. Seolah-olah sebelum krisis ekonomi rakyat Indonesia tidak mengalami ketertindasan ekonomi dibawah kapitalisme Orde baru. Dengan kata kata lain untuk menutupi eksploitasi nilai lebih dari sistem kapitalisme pemerintah, dan IMF berusaha mencari kambing hitam penyebab krisis, yaitu, KKN dan praktek konglomerasi. Pad ahal kedua hal tersebut hanyalah faktor yang memperparah saja. Kebijakan neoliberalisme, dimana salah satuya adalah skema SAP (Structural Adjusment Program) atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (letter of intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar, adalah:

1. Liberalisasi perdagangan
2. Privatisasi BUMN
3. Penghapusan subsidi (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon,).
4. Restrukturisasi